Bisakah Perselingkuhan Melalui Sosial Media Dituntut secara Hukum?
Di Indonesia, perselingkuhan memiliki definisi yang beragam, terutama dalam konteks hukum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “selingkuh” diartikan sebagai tindakan yang menunjukkan ketidakjujuran, kecurangan, atau penyimpangan. Secara khusus, definisi tersebut mencakup sikap menyembunyikan sesuatu demi keuntungan pribadi atau bahkan tindakan korupsi dan penyimpangan lainnya.
Namun, hukum pidana Indonesia membatasi tindak pidana perselingkuhan pada kasus yang melibatkan hubungan seksual. Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa “zina” adalah persetubuhan antara pria dan wanita yang bukan pasangan suami istri atau salah satu pihak sudah menikah tetapi berselingkuh dengan orang lain.
Karena itu, perselingkuhan yang tidak melibatkan hubungan badan seperti melalui pesan Whatsapp, Instagram, Telepon, atau email tidak termasuk dalam kategori yang bisa dituntut berdasarkan Pasal 284 KUHP. Tanpa bukti adanya hubungan fisik, perselingkuhan ini tidak terkualifikasi sebagai pelanggaran hukum pidana Indonesia dalam hal zina.
Meski demikian, perselingkuhan jenis ini tetap dapat merusak kepercayaan dalam hubungan. Aspek-aspek non-fisik dari perselingkuhan, walaupun tidak termasuk dalam kategori hukum pidana, tetap bisa menjadi dasar bagi pasangan untuk mencari solusi lain seperti konseling atau bahkan gugatan perceraian jika hubungan tersebut dirasa sudah tidak dapat dipertahankan.
Tindakan Hukum untuk Perselingkuhan Menurut UU ITE dan UU Perkawinan
Seseorang yang mengalami perselingkuhan dari pasangannya dapat melaporkan hal tersebut ke pihak berwenang setempat, dengan membawa bukti-bukti kuat yang menunjukkan tindakan melanggar kesusilaan dan merusak keharmonisan rumah tangga.
Bukti-bukti yang perlu dikumpulkan antara lain dapat berupa video, foto, bukti chat atau percakapan di sosial media yang relevan. Perbuatan yang melanggar kesusilaan ini dapat termasuk dalam kategori pelanggaran menurut Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang melarang distribusi atau akses terhadap konten elektronik yang bermuatan tidak senonoh.
Lebih lanjut, Pasal 36 UU ITE menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, yang menyebabkan kerugian pada pihak lain, dapat dikenai sanksi hukum. Pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran ini bisa dikenakan hukuman penjara hingga 12 tahun dan/atau denda hingga Rp12 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (2) UU ITE. Selain itu, pelanggaran ini juga dapat dijerat menggunakan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, tergantung pada sifat pelanggaran yang dilakukan.
Dalam hal hak asuh anak, apabila perselingkuhan berujung pada perceraian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) mengatur bahwa kedua orang tua tetap memiliki kewajiban untuk merawat dan mendidik anak demi kepentingan terbaik anak. Jika terjadi perselisihan mengenai pengasuhan anak, pengadilan berwenang memberikan putusan terkait hak asuh sesuai Pasal 41 UU Perkawinan.
Dalam konteks hukum Islam, perselingkuhan yang melibatkan istri yang melalaikan kewajiban utamanya terhadap suami, atau dikenal dengan istilah nusyuz, dapat menjadi alasan hilangnya hak-hak tertentu dari istri, termasuk hak asuh anak (hadhanah). Hal ini diatur dalam Pasal 105, Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam. Untuk membuktikan nusyuz, diperlukan bukti yang sah dan valid, yang selanjutnya akan diputuskan oleh Pengadilan Agama.